Jumat, 17 Juni 2016

DAMPAK PENGUNAAN HANDPHONE PADA MASYARAKAT PEDESAN

Kemajuan teknologi yang tidak diiringi dengan kemajuan kualitas sumber daya manusia, atau yang kerap disebut cultural lag, memang kerap kali menjadi kendala modernisasi di lingkungan pedesaan. Namun ternyata bukan hanya hambatan saja yang tercipta darinya, berbagai masalah penyimpangan sosial juga bisa tumbuh subur dengan dipupuki oleh kemajuan teknologi, yang juga merupakan bagian dari modernisasi.

Dalam kasus yang banyak terjadi di desa Purwodadi, kecamatan Tembarak, kabupaten Temanggung, dan mungkin tidak hanya didaerah tersebut, melainkan di kebanyakan masyarakat pedesaan juga terjadi hal serupa, anak-anak yang orang tuanya bukan orang kaya sekalipun bisa memiliki handphone berfasilitas kamera, motor keren, bahkan mungkin orang tuanya terpaksa berhutang untuk memenuhi keinginan anaknya. Para orang tua yang masih memiliki cara berpikir “ndeso”, tidak benar-benar mengetahui apa yang sebenarnya dibutuhkan “anak jaman sekarang”. Sehingga ketika anak-anaknya menginginkan sesuatu dengan dalih, “jaman sekarang, kalau tidak punya barang itu, bisa begini, begini, dan begini”, maka mereka pun akan langsung berusaha memenuhinya. Sekalipun bila anak-anak mereka menyodorkan produk berharga tinggi seperti, misalnya handphone mid end berfasilitas kamera dan mp3, dengan mudahnya anak-anak mereka berkata,” Yang ada ininya ya, yang seperti ini”, padahal ada handphone dengan harga lebih murah walau tentu berfitur standar.

Padahal sebenarnya, anak-anak muda itu tidak atau mungkin belum membutuhkan fasilitas secanggih itu, selain untuk kebutuhan “gaya-gayaan” dan hanya mengikuti trend. Fasilitas-fasilitas canggih itu justru memicu munculnya penyimpangan sosial seperti kasus video porno di handphone dan kebut-kebutan di jalan umum.

Bagaimana upaya para orang tua mengendalikan anaknya ? Seringkali terdengar dari pengakuan para orang tua yang lelah pulang bekerja, “ Jaman sekarang memang beda dengan dulu, apa yang dibutuhkan di zaman sekarang juga pasti berbeda. Kita hanya orang-orang kuno yang tidak bisa memahami kebutuhan anak zaman sekarang.”. Benarkah demikian ? Sebenarnya, bukan para orang tua itu yang ketinggalan jaman, melainkan pengetahuan mereka tentang teknologi yang rendah, dimanfaatkan oleh anak-anak mereka demi memenuhi kebutuhan tersier belaka.

Sebenarnya jika dipergunakan dengan bijak, maka handphone memiliki banyak sekali manfaat. HP bisa digunakan untuk berkomunikasi lewat jarak jauh. Kalau dahulu untuk mengirim pesan kita harus susah payah ke kantor pos dan menulis alamat yang selengkap-lengkapnya agar surat kita sampai ke tujuan. Namun, sekarang cukup menggunakan aplikasi di HP , kita bisa berkomunikasi dengan orang lain tanpa batasan waktu, tempat maupun jarak, kita sudah bisa saling tukar menukar ide, informasi, dan hal-hal lain lewat SMS atau aplikasi lainnya. Untuk bercakap-cakap dengan katakanlah ayah kita yang kebetulan sedang bekerja diluar kota, maka hanya perlu menekan tombol dial pada HP dan kita sudah bisa berkomunikasi tanpa harus terkendala dengan jarak.

Selain itu, aplikasi pada HP yang semakin canggih memungkinkan kita mengakses informasi-informasi yang jika dimanfaatkan dengan positif, maka hasilnya juga akan positif. Katakanlah HP yang bisa mengakses internet, maka kita bisa browsing dan tidak mustahil masyarakat yang ada di pedesaan bisa mencari informasi mengenai pupuk, alat-alat pertanian mutakhir dan lain sebagainya. Namun kenyataannya penggunaan HP dikalangan masyarakat desa belum terlalu optimal. Seandainya penggunaan HP bisa dioptimalkan dalam hal positif, bisa dibayangkan jika pemuda-pemuda desa menggunakan kecanggihan HP miliknya untuk membantu orang tuanya dalam hal mencarikan informasi terkait pertanian, sehingga penghasilan keluarga bisa meningkat. Tidak malah menggunakannya untuk mengakses dan menyimpan video-video porno sehingga memicu terjadinya penyimpangan-penyimpangan.

Selain maraknya penyimpangan yang dilakukan oleh pemuda desa, dampak yang lain yang timbul dari penggunaan handphone yaitu kurangnya interaksi masyarakat akibat intensitas pertemuan antar anggota masyarakat yang mulai berkurang. Contoh yang kecil katakanlah dalam keluarga. Dulu ketika lebaran, hal penting selain membayar zakat dan sholat ‘iid dan hukumnya “wajib” bagi masyarakat umum yaitu silaturraami, berjabat tangan dan bertegur sapa saling memaafkan secara langsung. Namun dengan kecanggihan masa kini, dimungkinkan untuk kita tidak harus bertatap muka dan berjabat tangan secara langsung jika sekedar mau bermaaf-maafan, bisa dengan telpon, SMS, video call dan fitur-fitur lain. Ini menunjukkan bahwa dalam masyarakat pedesaan saat ini telah terjadi pergeseran nilai yang dulu sangat amat dijunjung tinggi yaitu nilai kebersamaan dan saling bersilaturahmi. Menurut Ferdinant Tonnies, masyarakat pedesaan yang dicirikan sebagai masyarakat Gemeinschaft memiliki ciri salah satunya yaitu kepentingan bersama lebih dominan dengan kata lain kehidupan bersama ikatan lahiriah yang bersifat jangka panjang. Indikatornya yaitu adanya nilai yang menjunjung tinggi kebersamaan. Namun, adanya teknologi informasi dan komunikasi yang berbentuk HP maka nilai kebersamaan ini pada masyarakat desa mulai berkurang, intensitas pertemuan dengan tatap muka langsung dan berinteraksi secara langsung juga berkurang, sehingga menyebabkan pergeseran kebudayaan kebersamaan yang ada pada masyarakat pedesaan.

Belum lagi masalah peningkatan urbanisasi juga tidak sedikit yang disebabkan oleh hal ini. Kebanyakan anak muda di desa ini menganggap hebat bila ada yang bisa bekerja di kota besar seperti Jakarta atau menjadi TKI di luar negeri. Sebab seakan-akan telah terjadi pergeseran pemikiran para pemuda desa yang menganggap jika bisa keluar desa untuk merantau, entah itu ke kota-kota besar atau keluar negeri, maka telihat keren, gaya, pulang setahun sekali, bisa menenteng tas besar (entah isinya apa?), berpakaian dan berpenampilan necis, bisa terlihat keren, gaya dan sedang trend. Akibatnya, tidak sedikit yang malah terpancing masuk ke pergaulan bebas, dunia undercover kota besar, ataupun terlibat kasus TKI ilegal. Akibat yang lain yaitu angka pekerja muda pertanian semakin berkurang. Sehinga ketika panen tiba, para petani sulit mencari buruh tani untuk membantu pekerjaan disawah. Jika terpaksa tidak bisa menangani pekerjaan disawah sendiri, mereka harus mencari buruh tani dari luar desa yang itupun jika dapat yang sudah berumur.  Tidak hanya petani dengan lahan yang luas yang resah, petani kecilpun juga mulai bingung karena usia mereka mulai lanjut akan ttetapi tidak ada generasi penerus yang meneruskan pekerjaan disawah. Dikhawatirkan maka mereka suatu hari akan menjual sawah mereka karena memang usia sudah tida mendukung bekerja keras disawah dan lebih lagi karena tidak adanya anak-anak mereka yang meneruskan pekerjaan disawah karena pergeseran pola pemikiran pemuda desa yang lebih suka bekerja dsektor non-agraris, meskipu itu bekerja jadi buruh pabrik atau apapun yang penting tetapbersih dan jauh dari lumpur sawah.

Fenomena diatas dari perspektif sosiologi dapat dipahami sebagai gejala pergeseran nilai dan budaya yang ada dimasyarakat pedesaan. Jika dahulu bekerja disawah adalah pekerjaan utama, tapi tidak untuk saat ini. Banyak pemuda yang malah keluar desa dan bekerja diluar agraris. Padahal Indonesia adalah Negara agraris disamping Negara maritime. Namun jika para pemuda, generasi penerus orang-orang tua semakin meninggalkan budaya turun temurun tersebut, maka bila kita memberikan prediksi ekstrim mengenai kehidupan ini bisa saja kelak petani-petani akan menggunakan iklan untuk mencari buruh tani yang bisa diupah. Ini menunjukkan pula pergeseran struktur social yang ada pada masyarakat pedesaan. Atau bahkan bisa saja kelak label Indonesia sebagai Negara agraris perlahan tapi pasti hilang dan berganti dengan Negara yang kehilangan jati dirinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar