Kemajuan teknologi yang tidak diiringi
dengan kemajuan kualitas sumber daya manusia, atau yang kerap disebut
cultural lag, memang kerap kali menjadi kendala modernisasi di
lingkungan pedesaan. Namun ternyata bukan hanya hambatan saja yang
tercipta darinya, berbagai masalah penyimpangan sosial juga bisa tumbuh
subur dengan dipupuki oleh kemajuan teknologi, yang juga merupakan
bagian dari modernisasi.
Dalam kasus yang banyak terjadi di desa
Purwodadi, kecamatan Tembarak, kabupaten Temanggung, dan mungkin tidak
hanya didaerah tersebut, melainkan di kebanyakan masyarakat pedesaan
juga terjadi hal serupa, anak-anak yang orang tuanya bukan orang kaya
sekalipun bisa memiliki handphone berfasilitas kamera, motor keren,
bahkan mungkin orang tuanya terpaksa berhutang untuk memenuhi keinginan
anaknya. Para orang tua yang masih memiliki cara berpikir “ndeso”, tidak
benar-benar mengetahui apa yang sebenarnya dibutuhkan “anak jaman
sekarang”. Sehingga ketika anak-anaknya menginginkan sesuatu dengan
dalih, “jaman sekarang, kalau tidak punya barang itu, bisa begini,
begini, dan begini”, maka mereka pun akan langsung berusaha memenuhinya.
Sekalipun bila anak-anak mereka menyodorkan produk berharga tinggi
seperti, misalnya handphone mid end berfasilitas kamera dan mp3, dengan
mudahnya anak-anak mereka berkata,” Yang ada ininya ya, yang seperti
ini”, padahal ada handphone dengan harga lebih murah walau tentu
berfitur standar.
Padahal sebenarnya, anak-anak muda itu
tidak atau mungkin belum membutuhkan fasilitas secanggih itu, selain
untuk kebutuhan “gaya-gayaan” dan hanya mengikuti trend.
Fasilitas-fasilitas canggih itu justru memicu munculnya penyimpangan
sosial seperti kasus video porno di handphone dan kebut-kebutan di jalan
umum.
Bagaimana upaya para orang tua
mengendalikan anaknya ? Seringkali terdengar dari pengakuan para orang
tua yang lelah pulang bekerja, “ Jaman sekarang memang beda dengan dulu,
apa yang dibutuhkan di zaman sekarang juga pasti berbeda. Kita hanya
orang-orang kuno yang tidak bisa memahami kebutuhan anak zaman
sekarang.”. Benarkah demikian ? Sebenarnya, bukan para orang tua itu
yang ketinggalan jaman, melainkan pengetahuan mereka tentang teknologi
yang rendah, dimanfaatkan oleh anak-anak mereka demi memenuhi kebutuhan
tersier belaka.
Sebenarnya jika dipergunakan dengan
bijak, maka handphone memiliki banyak sekali manfaat. HP bisa digunakan
untuk berkomunikasi lewat jarak jauh. Kalau dahulu untuk mengirim pesan
kita harus susah payah ke kantor pos dan menulis alamat yang
selengkap-lengkapnya agar surat kita sampai ke tujuan. Namun, sekarang
cukup menggunakan aplikasi di HP , kita bisa berkomunikasi dengan orang
lain tanpa batasan waktu, tempat maupun jarak, kita sudah bisa saling
tukar menukar ide, informasi, dan hal-hal lain lewat SMS atau aplikasi
lainnya. Untuk bercakap-cakap dengan katakanlah ayah kita yang kebetulan
sedang bekerja diluar kota, maka hanya perlu menekan tombol dial pada
HP dan kita sudah bisa berkomunikasi tanpa harus terkendala dengan
jarak.
Selain itu, aplikasi pada HP yang
semakin canggih memungkinkan kita mengakses informasi-informasi yang
jika dimanfaatkan dengan positif, maka hasilnya juga akan positif.
Katakanlah HP yang bisa mengakses internet, maka kita bisa browsing dan
tidak mustahil masyarakat yang ada di pedesaan bisa mencari informasi
mengenai pupuk, alat-alat pertanian mutakhir dan lain sebagainya. Namun
kenyataannya penggunaan HP dikalangan masyarakat desa belum terlalu
optimal. Seandainya penggunaan HP bisa dioptimalkan dalam hal positif,
bisa dibayangkan jika pemuda-pemuda desa menggunakan kecanggihan HP
miliknya untuk membantu orang tuanya dalam hal mencarikan informasi
terkait pertanian, sehingga penghasilan keluarga bisa meningkat. Tidak
malah menggunakannya untuk mengakses dan menyimpan video-video porno
sehingga memicu terjadinya penyimpangan-penyimpangan.
Selain maraknya penyimpangan yang
dilakukan oleh pemuda desa, dampak yang lain yang timbul dari penggunaan
handphone yaitu kurangnya interaksi masyarakat akibat intensitas
pertemuan antar anggota masyarakat yang mulai berkurang. Contoh yang
kecil katakanlah dalam keluarga. Dulu ketika lebaran, hal penting selain
membayar zakat dan sholat ‘iid dan hukumnya “wajib” bagi masyarakat
umum yaitu silaturraami, berjabat tangan dan bertegur sapa saling
memaafkan secara langsung. Namun dengan kecanggihan masa kini,
dimungkinkan untuk kita tidak harus bertatap muka dan berjabat tangan
secara langsung jika sekedar mau bermaaf-maafan, bisa dengan telpon,
SMS, video call dan fitur-fitur lain. Ini menunjukkan bahwa dalam
masyarakat pedesaan saat ini telah terjadi pergeseran nilai yang dulu
sangat amat dijunjung tinggi yaitu nilai kebersamaan dan saling
bersilaturahmi. Menurut Ferdinant Tonnies, masyarakat pedesaan yang
dicirikan sebagai masyarakat Gemeinschaft memiliki ciri salah satunya
yaitu kepentingan bersama lebih dominan dengan kata lain kehidupan
bersama ikatan lahiriah yang bersifat jangka panjang. Indikatornya yaitu
adanya nilai yang menjunjung tinggi kebersamaan. Namun, adanya
teknologi informasi dan komunikasi yang berbentuk HP maka nilai
kebersamaan ini pada masyarakat desa mulai berkurang, intensitas
pertemuan dengan tatap muka langsung dan berinteraksi secara langsung
juga berkurang, sehingga menyebabkan pergeseran kebudayaan kebersamaan
yang ada pada masyarakat pedesaan.
Belum lagi masalah peningkatan
urbanisasi juga tidak sedikit yang disebabkan oleh hal ini. Kebanyakan
anak muda di desa ini menganggap hebat bila ada yang bisa bekerja di
kota besar seperti Jakarta atau menjadi TKI di luar negeri. Sebab
seakan-akan telah terjadi pergeseran pemikiran para pemuda desa yang
menganggap jika bisa keluar desa untuk merantau, entah itu ke kota-kota
besar atau keluar negeri, maka telihat keren, gaya, pulang setahun
sekali, bisa menenteng tas besar (entah isinya apa?), berpakaian dan
berpenampilan necis, bisa terlihat keren, gaya dan sedang trend.
Akibatnya, tidak sedikit yang malah terpancing masuk ke pergaulan bebas,
dunia undercover kota besar, ataupun terlibat kasus TKI ilegal. Akibat
yang lain yaitu angka pekerja muda pertanian semakin berkurang. Sehinga
ketika panen tiba, para petani sulit mencari buruh tani untuk membantu
pekerjaan disawah. Jika terpaksa tidak bisa menangani pekerjaan disawah
sendiri, mereka harus mencari buruh tani dari luar desa yang itupun jika
dapat yang sudah berumur. Tidak hanya petani dengan lahan yang luas
yang resah, petani kecilpun juga mulai bingung karena usia mereka mulai
lanjut akan ttetapi tidak ada generasi penerus yang meneruskan pekerjaan
disawah. Dikhawatirkan maka mereka suatu hari akan menjual sawah mereka
karena memang usia sudah tida mendukung bekerja keras disawah dan lebih
lagi karena tidak adanya anak-anak mereka yang meneruskan pekerjaan
disawah karena pergeseran pola pemikiran pemuda desa yang lebih suka
bekerja dsektor non-agraris, meskipu itu bekerja jadi buruh pabrik atau
apapun yang penting tetapbersih dan jauh dari lumpur sawah.
Fenomena diatas dari perspektif
sosiologi dapat dipahami sebagai gejala pergeseran nilai dan budaya yang
ada dimasyarakat pedesaan. Jika dahulu bekerja disawah adalah pekerjaan
utama, tapi tidak untuk saat ini. Banyak pemuda yang malah keluar desa
dan bekerja diluar agraris. Padahal Indonesia adalah Negara agraris
disamping Negara maritime. Namun jika para pemuda, generasi penerus
orang-orang tua semakin meninggalkan budaya turun temurun tersebut, maka
bila kita memberikan prediksi ekstrim mengenai kehidupan ini bisa saja
kelak petani-petani akan menggunakan iklan untuk mencari buruh tani yang
bisa diupah. Ini menunjukkan pula pergeseran struktur social yang ada
pada masyarakat pedesaan. Atau bahkan bisa saja kelak label Indonesia
sebagai Negara agraris perlahan tapi pasti hilang dan berganti dengan
Negara yang kehilangan jati dirinya.